Jumaat, 17 Jun 2011

Khalifah Uthmaniyah

Khalifah Uthmaniyah (1299-1923)


Kesultanan Utsmaniyah (1299–1923), atau dikenal juga dengan sebutan Kekaisaran Turki Ottoman, (Turki Utsmaniyah Lama: Devlet-i ʿĀliye-yi ʿOsmāniyye, Utsmaniyah Akhir dan Turki Modern: Osmanlı Devleti atau Osmanlı İmparatorluğu, Bahasa Arab: دولت عليه عثمانيه ,Daulat 'Aliah Utsmaniah) adalah negara multi-etnis dan multi-religius. Negara ini diteruskan oleh Republik Turki yang diproklamirkan pada 29 Oktober 1923.


Negara ini didirikan oleh Bani Utsman (dalam bahasa Inggris: House of Osman atau Ottoman dynasty), yang selama lebih dari enam abad kekuasaannya (1299 - 1923) dipimpin oleh 36 orang sultan, sebelum akhirnya runtuh dan terpecah menjadi beberapa negara kecil.
Kesultanan ini menjadi pusat interaksi antar Barat dan Timur selama enam abad. Pada puncak kekuasaannya, Kesultanan Utsmaniyah terbagi menjadi 29 propinsi. Dengan Konstantinopel (sekarang Istambul) sebagai ibukotanya, kesultanan ini dianggap sebagai penerus dari kerajaan-kerajaan sebelumnya, seperti Kekaisaran Romawi dan Bizantium. Pada abad ke-16 dan ke-17, Kesultanan Usmaniyah menjadi salah satu kekuatan utama dunia dengan angkatan lautnya yang kuat.


Kekuatan Kesultanan Usmaniyah terkikis secara perlahan-lahan pada abad ke-19, sampai akhirnya benar-benar runtuh pada abad 20. Setelah Perang Dunia I berakhir, pemerintahan Utsmaniyah yang menerima kekalahan dalam perang tersebut, mengalami kemunduran di bidang ekonomi.


Kebangkitan

Pada pertengahan abad ke-13, Kekaisaran Bizantium yang melemah telah kehilangan beberapa kekuasaanya oleh beberapa kabilah. Salah satu kabilah ini berada daerah di Eskişehir, bagian barat Anatolia, yang dipimpin oleh Osman I, anak dari Ertuğrul, yang kemudian mendirikan Kesultanan Utsmaniyah. Menurut cerita tradisi, ketika Ertuğrul bermigrasi ke Asia Minor beserta dengan empat ratus pasukan kuda, beliau berpartisipasi dalam perang antara dua kubu pihak (Kekaisaran Romawi dan Kesultanan Seljuk). Ertuğrul bersekutu dengan pihak Kesultanan Seljuk yang kalah pada saat itu dan kemudian membalikkan keadaaan memenangkan perang. Atas jasa beliau, Sultan Seljuk menghadiahi sebuah wilayah di Eskişehir.[1] Sepeninggal Ertuğrul pada tahun 1281, Osman I menjadi pemimpin dan tahun 1299 mendirikan Kesultanan Utsmaniyah.

Osman I kemudian memperluas wilayahnya sampai ke batas wilayah Kekaisaran Bizantium. Ia memindahkan ibukota kesultanan ke Bursa, dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan awal politik kesultanan tersebut. Diberi nama dengan nama panggilan "kara" (Bahasa Turki untuk hitam) atas keberaniannya,[2] Osman I disukai sebagai pemimpin yang kuat dan dinamik bahkan lama setelah beliau meninggal dunia, sebagai buktinya terdapat istilah di Bahasa Turki "Semoga dia sebaik Osman". Reputasi beliau menjadi lebih harum juga disebabkan oleh adanya cerita lama dari abad pertengahan Turki yang dikenal dengan nama Mimpi Osman, sebuah mitos yang mana Osman diinspirasikan untuk menaklukkan berbagai wilayah yang menjadi wilayah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah.

Pada peringkat ini terlihat terbentuknya pemerintahan formal Utsmaniyah, yang bentuk institusi tersebut tidak berubah selama empat abad. Pemerintahan Utsmaniyah mengembangkan suatu sistem yang dikenal dengan nama Millet (berasal dari Bahasa Arab millah ملة), yang mana kelompok agama dan suku minoriti dapat mengurus masalah mereka sendiri tanpa intervensi dan kawal yang banyak dari pemerintah pusat.
Setelah Osman I meninggal, kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah kemudian merambah sampai ke bagian Timur Mediteranian dan Balkan. Setelah kekalahan di Pertempuran Plocnik, kemenangan kesultanan Utsmaniyah di Pertempuran Kosovo secara efektif mengakhiri kekuasaan Kerajaan Serbia di wilayah tersebut dan memberikan jalan bagi Kesultanan Utsmaniyah menyebarkan kekuasaannya ke Eropah. Kesultanan ini kemudian mengontrol hampir seluruh wilayah kekuasaan Bizantium dahulu. Wilayah Kekaisaran Bizantium di Yunani luput dari kekuasaan kesultanan berkat serangan Timur Lenk ke Anatolia tahun 1402, menjadikan Sultan Bayezid I sebagai tahanan.


Mehmed II menaklukkan kota Constantinopel yang menjadi ibukota baru kesultanan tahun 1453.

Perkembangan Kerajaan (1453–1683)
Peringkat ini boleh dibagi menjadi dua masa: Masa perluasan wilayah dan perkembangan ekonomi dan kebudayaan (sampai tahun 1566); dan masa stagnasi militer dan politik

Perluasan Wilayah dan Puncak Kekuasaan (1453–1566)
 Pertempuran Zonchio pada tahun 1499 adalah perang laut pertama yang menggunakan meriam sebagai senjata di kapal perang, menandakan kebangkitan angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah.
Penaklukkan Constantinopel oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1453 mengukuhkan status kesultanan tersebut sebagai kekuatan besar di Eropa Tenggara dan Mediteranian Timur. Pada masa ini Kesultanan Utsmaniyah memasuki peringkat penaklukkan dan perluasan wilayah, memperluas wilayahnya sampai ke Eropah dan Afrika Utara; di bidang kelautan, angkatan laut Utsmaniyah mengukuhkan kesultanan sebagai kekuatan dagang yang kuat. Perekonomian kesultanan juga mengalami kemajuan berkat kawalan wilayah jalur perdagangan antara Eropa dan Asia.

Kesultanan ini memasuki zaman kejayaannya di bawah beberapa sultan. Sultan Selim I (1512-1520) secara dramatik memperluas batas wilayah kesultanan dengan mengalahkan Shah Dinasti Safavid dari Farsi, Ismail I, di Perang Chaldiran. Selim I juga memperluas kekuasaan sampai ke Mesir dan menempatkan kehadiran kapal-kapal kesultanan di Laut Merah.

Serangan ke Wina tahun 1529.

Pewaris takhta Selim, Suleiman yang Agung (1520-15660 melanjutkan ekspedisi Selim. Setelah menaklukkan Beograd tahun 1521, Suleiman menaklukkan Kerajaan Hongaria dan beberapa wilayah di Eropah Tengah. Ia kemudian melakukan serangan ke Kota Wina tahun 1529, namun gagal menaklukkan kota tersebut setelah musim dingin yang lebih awal memaksa pasukannya untuk mundur. Di sebelah timur, Kesultanan Utsmaniyah berhasil menaklukkan Baghdad dari Farsia tahun 1535, mendapatkan kawalan wilayah Mesopotamia dan Teluk Farsi.

Di bawah pemerintahan Selim dan Suleiman, angkatan laut Kesultanan Utsmaniyah menjadi kekuatan dominan, mengawal sebagian besar Laut Mediteranian. Beberapa kemenangan besar lainnya meliputi penaklukkan Tunis dan Aljazair dari Sepanyol; Evakuasi umat Muslim dan Yahudi dari Sepanyol ke wilayah Kesultanan Utsmaniyah sewaktu inkuisisi Sepanyol; dan penaklukkan Nice dari Kekaisaran Suci Romawi tahun 1543. Penaklukkan terakhir terjadi atas nama Perancis sebagai pasukan gabungan dengan Raja Perancis Francis I dan Hayreddin Barbarossa, Laksamana angkatan laut Turki ketika itu. Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah, bersatu berdasarkan kepentingan bersama atas kekuasaan Habsburg di selatan dan tengah Eropah, menjadi sekutu yang kuat pada masa peringkat ini. Selain kerjasama militer, kerjasama ekonomi juga terjadi antara Perancis dan Kesultanan Utsmaniyah. Sultan memberikan Perancis hak untuk melakukan dagang dengan kesultanan tanpa dikenakan cukai. Pada saat itu, Kesultanan Utsmaniyah dianggap sebagai sebahagian dari politik Eropah, dan bersekutu dengan Perancis, Inggeris, dan Belanda melawan Habsburg Sepanyol, Itali, dan Habsburg Austria.

Pemberontakan dan Kebangkitan Kembali (1566–1683)

Sepeninggal Suleiman tahun 1566, beberapa wilayah kekuasaan kesultanan mulai menghilang. Kebangkitan kerajaan-kerajaan Eropah di barat beserta dengan penemuan jalur alternatif Eropa ke Asia melemahkan ekonomi Kesulatanan Utsmaniyah. Efektifitas militer dan struktur birokrasi warisan berabad-abad juga menjadi kelemahan dibawah pemerintahan Sultan yang lemah. Walaupun begitu, kesultanan ini tetap menjadi kekuatan ekspansi yang besar sampai kejadian Pertempuran Wina tahun 1683 yang menandakan berakhirnya usaha penguasaani Kesultanan Utsmaniyah ke Eropa.
Kerajaan-kerajaan Eropah berusaha mengatasi monopoli jalur perdagangan ke Asia oleh Kesultanan Utmaniyah dengan menemukan jalur alternatif. Secara ekonomi, kemasukan Sepanyol dari benua baru memberikan pengaruh pada devaluasi mata wang Kesultanan Utsmaniyah dan mengakibatkan inflasi yang tinggi. Hal ini memberikan kesan negatif terhadap semua lapisan masyarakat Utsmaniyah.

Di Eropah Selatan, sebuah pakatan antara kekuatan dagang Eropa di Semenanjung Itali berusaha untuk mengurangi kekuatan Kesultanan Utsmaniyah di Laut Mediteranian. Kemenangan pakatani tersebut di Pertempuran Lepanto (sebetulnya Navpaktos,tapi semua orang menjadi salah mengeja menjadi Lepanto) tahun 1571 mengakhiri supreme kesultanan di Mediterania. Pada akhir abad ke-16, masa keemasan yang ditanda dengan penaklukan dan perluasan wilayah berakhir.
Serangan kedua Wina tahun 1683.

Di medan perang, Kesultanan Utsmaniyah secara perlahan-lahan tertinggal dengan teknologi militer orang Eropah dimana inovasi yang sebelumnya menjadikan faktor kekuatan militer kesultanan terhalang oleh konservatisme agama yang mulai berkembang. Perubahan taktik militer di Eropah menjadikan pasukan Sipahi yang dulunya ditakuti menjadi tidak relevan. Disiplin dan kesatuan pasukan menjadi permasalahan disebabkan oleh kebijakan relaksasi rekrutmen dan peningkatan jumlah Yanisari yang melebihi pasukan militer lainnya
Murad IV (1612-1640), yang menaklukkan Yereva tahun 1635 dan Baghdad tahun 1639 dari kesultanan Safavid, adalah satu-satunya Sultan yang menunjukkan kuasa militer dan politik yang kuat di dalam kesultanan. Murad IV merupakan Sultan terakhir yang memimpin pasukannya maju ke medan perang.
Pemberontakan Jelali (1519-1610) dan Pemberontakan Yenisaris (1622) mengakibatkan ketidakpastian hukum dan pemberontakan di Anatolia akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, dan berhasil menggulingkan beberapa pemerintahan. Namun, abad ke-17 bukan hanya masa stagnasi dan kemunduran, tetapi juga merupakan masa kunci di mana kesultanan Utsmaniyah dan strukturnya mulai beradaptasi terhadap tekanan baru dan realitas yang baru, internal maupun eksternal.

Kesultanan Wanita (1530-1660) adalah peringkat di mana pengaruh politik dari Harem Kesultanan sangat besar, di mana ibu dari Sultan yang muda mengambilalih kekuasaan atas nama puteranya. Hürrem Sultan yang mengangkat dirinya sebagai pewaris Nurbanu, dideskripsikan oleh perwakilan Wina Andrea Giritti sebagai wanita yang saleh, berani, dan bijaksana. [3]Masa ini berakhir sampai pada kekuasaan Sultan Kösem dan menantunya Turhan Hatice, yang mana persaingan keduanya berakhir dengan terbunuhnya Kösem tahun 1651. Berakhirnya periode ini digantikan oleh Era Köprülü (1656-1703), yang mana kesultanan pada masa ini pertama kali dikontrol oleh beberapa anggota kuat dari Harem dan kemudian oleh beberapa Perdana Menteri (Grand Vizier).

Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan

Politik di sini dibagi jadi dua. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam[4]. Arti kedua adalah politik luar negeri.

Politik dalam negeri

Sebenarnya, kedua hal di atas boleh diatasi saat kekhalifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II yang digelar al-Qonun, karena jasanya mengadaptasi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549) sebagai pedoman dalam hal syariah dan muamalah sehingga pentadbirani negara menjadi lebih mudah dan tersusunr rapi. Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab.

Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU.  Kesannya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi khalifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman II (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari yang dibentuk Sultan Ourkhan saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga iaa dibubarkan (1785). Selain itu, majmuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.

Ini yang membuat politik luar negeri khalifah, dakwah dan jihad berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pendapatan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk kerana rasuah dan korupsi. Para pemimpini dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan menambahkan harta. Ditambah dengan menurunnya cukai dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemui jalur utama yang aman, sehingga boleh terus ke Eropa. Ini membuat mata wang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak boleha menutupi keperluann wang yang terus meningkat.

Separuh kedua abad ke-16, terjadilah krisis melihat saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru dari kaloni Sepanyol. Mata wang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata wang Baroh diluncarkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata wang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada separuh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung hutang 300 juta lira.

Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami, dakwah dan jihad pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan khalifah. Ini dilihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir pada masa itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.

Sejak jatuhnya Constantinople di abad 15, Eropah-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropah yang dilanda perang antara agama sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Mulai saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropah dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropah pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak dapat memzedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kukuhlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.

Gerakan misionaris

Di dalam negara, ahlu dzimmah khususnya orang Kristian yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Perancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristian dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773.  Di tengah mundurnya intelektualiti Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai pusat gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Perancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengembang kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14. 


Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bahagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya meminjam istilah Imam al-Ghozali, Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar boleh sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz.

Gerakan nasionalisme dan separatisme

Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropah seperti Inggris, Perancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Kesudahanya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya satu, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, Kedutaan Inggris dan Perancis di Istambul dan daerah-daerah asas khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kaherah, dan Jeddah telah menjadi pengendalinya. Untuk menyempurnakan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, iaitu mengubah putra putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.


Kedutaan negara Eropah pun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kahirah,  dibentuk Parti Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum harfiah dibentuk. Inggeris dan Perancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Jun 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemui di Konsulat Perancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggeris dan Perancis.


Di Markas Istanbul, negara-negara Eropah tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universiti lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara terang.  Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampenye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah) yang diciplak dari UU di Eropah diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropah khususnya Inggeris memaksa khilafah Utsmani mengikhtiraf UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas dilantik menjadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika pusat komuniti Yahudi Dunamah memberontak (1908). Khalifah dipaksa menjalankan keputusan Konferensi Berlin, mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlimen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir. 
Mustafa Kemal Pasha (Mustafa Kamal At-Tarturk)


Nampaknya Inggeris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggeris menyerang Istanbul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampenye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggeris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mengangkat populariti Mustafa Kemal Pasha yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika melakukan agenda Inggeris, iaitu melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan membuahkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Iraq, Syiria, Palestin, Mesir, dll mendeklarasikan konsensi kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.


Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktiviti politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggeris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pegawai negara dan menutup pejabat-pejabat dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya lemah. Instabiliti terjadi di dalam negeri, sementara umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya bertambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlimen, yang diharap boleh menyelesaikan kondisi kritis ini.
Abd-ul-Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)


Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, aitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih selepas pilihanraya. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlimen sebagai Presiden Pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan keganasan untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dinyahkan.


Setelah suasana negara beransur aman, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Mac 1924 M, ia memecat khalifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.


Di bawah ini adalah daftar sultan yang memerintah di Kesultanan Utsmaniyah sehingga berdirinya Turki sekular.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan